PRANG…
Suara
pecah dari belakang rumah membangunkanku dari tidur yang lelap. Ada apa ini?
tanyaku dalam hati. Aku bergegas bangun dan berlari ke belakang rumahku.
Kulihat beberapa pecahan botol berserakan di mana-mana. Astaga! Kurang kerjaan
sekali orang yang melempari rumahku dengan botol ini. Baru sehari aku tinggal
di sini, sudah kudapatkan hadiah selamat datang dari penghuni rumah tua yang
berada di belakang rumahku. Kejutan yang indah sekali!
Setelah
kejadian yang mengagetkan ini, aku bergegas membersihkan halaman belakang rumahku
dari pecahan kaca itu. Tiba-tiba mataku tertuju pada kertas putih yang
tergulung dengan pita hitam berada di tengah-tengah pecahan botol itu. Tetapi
tidak ada tulisan apapun yang terpampang pada kertas tersebut. Ini sungguh
aneh! Batinku dalam hati sambil memperhatikan jendela belakang rumah tua yang
ada di hadapanku.
*
“Selamat
pagi anak-anak” sambut Kepala Sekolah. “Selamat
pagi ibu Kepala Sekolah” sahut anak-anak dengan ceria. “Sudah siap belajar
anak-anak?” tanya Ibu Kepala Sekolah kepada murid-muridnya.“Sudah, Ibu” sambut
anak-anak.“Pagi ini, Ibu Kepala Sekolah mau memperkenalkan guru baru. Namanya
Ibu Meggy. ”katanya sambil mengarahkan tangannya ke arahku.
“Selamat pagi, anak-anak” kataku sambil
tersenyum. “Selamat pagi juga, bu Meggy” sahut anak-anak. “Nah, sekarang kalian
boleh mulai belajar dengan bu Meggy. Silahkan bu Meggy” kata Kepala Sekolah
mempersilahkanku. “Terima kasih, bu” ucapku. Kepala sekolah mengangguk pelan
dan meninggalkanku dengan anak-anak.
Ya,
aku memulai karier di tempat baruku sebagai seorang guru Taman Kanak-kanak.
Kebetulan sekolah Taman kanak-kanak ini berada dekat dari rumah baruku, aku
bisa menjangkaunya dengan berjalan kaki saja. Keinginanku sejak kecil memang
menjadi seorang guru. Sungguh, aku amat bersyukur karena akhirnya aku dapat
menggapai impianku menjadi sesuatu yang ku inginkan.
Hari
ini aku membawakan satu buah buku cerita yang aku buat ketika aku masih berada
di bangku kuliah. Kuliah di jurusan pendidikan guru PAUD, membuatku harus
terbiasa membuat media pembelajaran yang berguna untuk anak-anak seperti halnya
dengan membuat buku cerita ini. Selain itu, aku juga dituntut untuk dapat
membacakan cerita kepada anak dengan hati yang ceria seperti yang aku lakukan
saat ini di depan anak-anak muridku.
Aku
memperhatikan masing-masing anak muridku yang baru kukenal satu jam ini. Mereka
tertawa dan sangat antusias memperhatikanku saat membacakan cerita. Beberapa dari
anak-anak bahkan ku ajak untuk berperan dalam ceritaku tersebut. Tetapi, ada satu
anak yang duduk di belakang hanya tertunduk dan memperlihatkan mimik muka yang
sangat sedih. Aku menarik tangannya dan mengajakanya untuk berperan dalam
ceritaku tersebut. Tak kusangka, ia antusias dalam cerita itu meskipun ia masih
terlihat malu-malu. Adegan demi adegan ia lakukan bersamaku, aku membuatnya
untuk tetap santai dan menghayati setiap adegan cerita. Setelah cerita
berakhir, aku menghampiri anak lelaki berambut ikal itu.
“Wah
hebat sekali anak ibu yang satu ini, namanya siapa, Nak?” tanyaku padanya.
“Marco” jawab anak lelaki berambut ikal itu. “Oh, Marco. Marco hebat sekali!
Besok-besok kalau ada pertunjukan drama, Marco harus ikut jadi pemain ya?”
pujiku sambil mengusap rambutnya yang ikal.
Tak
kusangka, mimik muka Marco menjadi ceria. Tak kulihat lagi kesedihan dalam raut
mukanya. Lagi-lagi aku mengucap syukur, karena hari ini dapat membuat anak-anak
tersenyum dan tertawa. Rasa sedih yang ada dalam diri seorang anak dapat aku
kendalikan dengan kasih sayang. Sungguh, aku sangat mencintai pekerjaanku
sebagai guru.
*
PRAAAAANG…..
Suara
pecahan itu membangunkan aku untuk yang kedua kalinya. aku langsung berlari
menuju belakang rumah dan lagi-lagi kulihat beberapa botol kaca pecah dan
mengotori halaman belakang rumahku. Ditambah lagi pecahan botol itu menciptakan
bau yang menyengat. Segera saja kubersihkan pecahan-pecahan kaca itu dengan
sapu lidi. Aku benar-benar heran dengan kelakuan penghuni rumah tua itu, apa beginikah
caranya menyambut orang baru? Apa tak ada cara lain yang lebih sopan dibanding
membuang sampah ke halaman rumah tetangganya? Gerutuku dalam hati.
Saat
menyapu beberapa pecahan itu, kembali kutemukan secarik kertas putih yang
diikat dengan tali hitam, kertas itu bertuliskan emotion berbentuk muka sedih dengan tinta merah. Beberapa bulu
kudukku meremang, aku merasakan kejanggalan pada surat misterius ini. Secara
reflek kutengokan wajahku ke arah
jendela belakang rumah tua. Tiba-tiba ada sesosok bayangan besar dan hitam tengah
berdiri menghadap jendela rumah tua. Bayangan itu tengah melambaikan tangan
kepadaku, kurasakan nafas ini seperti tertahan, aku menggigit bibir dan mencoba
beristighfar berkali-kali tetapi bayangan itu tetap melambaikan tangan.
*
“Ibu Meggy lagi sakit
ya?” tanya salah satu anak muridku.
Aku tersenyum dan
menggelengkan kepala, “Ibu tidak apa-apa kok, sayang”.
Kejadian
tadi pagi benar-benar membuatku tidak fokus. Bahkan sejak kejadian tadi, pusing
kepalaku tidak juga hilang. Bayangan itu memang berdiri dan melambaikan tangan
kepadaku cukup lama seperti memintaku masuk ke dalam rumah tua itu. Menurut
beberapa tetangga, rumah tua itu dihuni oleh seorang pemilik perusahaan sambal
terbesar di kota. Ia hanya tinggal bersama seorang putranya. Kata mereka, kedua
penghuni rumah itu jarang bersosialisasi dengan warga sekitar. Dan apakah
terror yang kudapatkan ini ada hubungannya dengan penghuni rumah tua itu?
*
Hari
ini aku mengajarkan melukis dengan daun. Daun-daun tersebut diambil dari pelataran
halaman sekolah yang anak-anak kumpulkan, lalu daun tersebut di lukis dengan
cat air. Setelah itu, daun yang telah mereka lukis, mereka jiplakkan pada
kertas putih sehingga menciptakan goresan-goresan daun dengan berbagai macam
warna di kertas putih.
Melihat
keceriaan dan kegembiraan yang tergambar di wajah mereka saat melukis membuat
sakit kepalaku hilang. Padahal saat awal pembelajaran, rasanya aku ingin pulang
dan istirahat saja, tapi keceriaan mereka membuatku bersemangat kembali untuk
tetap mengajar pada hari ini.
KRIIIIING……………..
Bel
sekolah berbunyi nyaring, tanda pembelajaran sudah berakhir. Aku mengaba-abakan
anak-anak untuk mengumpulkan tugas mereka hari ini. sebagian dari mereka dengan
sigap memberikan tugasnya kepadaku, tetapi sebagian yang lainnya masih sibuk
melanjutkan sambil mengeluhkan pekerjaannya yang belum selesai. Aku tersenyum,
dan memberikan pengertian kepada anak-anakku yang masih semangat mengerjakan
tugas mereka hingga akhir.
*
Siang
menjelang sore, aku menutup pintu kelas dan melenggang menuju gerbang sekolah
sambil menenteng berkas-berkas. Tiba-tiba di halaman sekolah, kuperhatikan
seorang anak lelaki masih bermain di sana. Aku memicingkan mata, memperhatikan
rambut ikal dan seragam yang ia kenakan. Marco. Aku menghampirinya,
“Marco, kok belum
pulang nak?” kataku sambil mengelus kepalanya.
Ia
hanya menengok dan menggelengkan kepalanya, tangannya masih sibuk memainkan
ember berisi pasir. Kuperhatikan sekeliling halaman sekolah, semua sudah sepi.
Tak ada guru-guru yang berlalulalang menjaga dan menunggui Marco sampai orang
tua yang datang menjemputnya. Akhirnya kuputuskan menungguinya sampai orang
tuanya datang menjemput.
Aku
memperhatikan Marco yang masih memainkan ember di atas kotak pasir. Tangan
kecil itu mengaduk-aduk pasir di ember. Tapi ada sesuatu yang mengganjal pada
tangan Marco, kulihat ada bekas luka bakar pada tangannya dan di beberapa titik
yang membiru di lengannya.
“Marco,
kenapa tangannya? Lagi sakit ya?” tanyaku dengan lembut.
Ia
memperhatikan lengannya dan menggelengkan kepala. Tiba-tiba raut mukanya
menjadi sedih, ia berdiri dan berlari meninggalkan aku sendirian.
*
PRAAAAANG…. PRAAAAANG…
PRAAAAANG…
Ini
ketiga kalinya aku terbangun karena suara pecahan di halaman belakangku. Suara
pecahan itu semakin banyak terjadi. Tetapi kali ini, semenjak kejadian
mengerikan kemarin rasanya aku takut sekali untuk pergi mengecek halaman
rumahku. Kugenggam sapu rumahku untuk berjaga-jaga. Dengan perlahan, aku
melangkah menuju halaman belakangku.
Kuintip
halaman belakang rumahku dari balik jendela. Banyak pecahan botol sambal
dimana-mana. Jendela rumah tua pun terbuka lebar, tapi tak ada sesosok bayangan
yang aku lihat lagi disana. Ketika kurasa aman, aku segera berlari membuka
pintu halaman belakang rumah. Kacau balau sudah semua tanaman yang aku tanam di
sana, semua sudah hancur karena pecahan-pecahan kaca dari jendela rumah tua
itu. aku mendengus kesal. Dan lagi-lagi kutemukan surat berpita hitam, kertas itu bertuliskan “HELP ME! SOS!”.
Semakin
aku bingung dengan penghuni rumah tua itu. ada apa di balik semua pecahan kaca
dan semua surat yang ia tuliskan? Bergegas aku berlari ke luar rumah dan
berjalan menuju rumah tua itu. Ada sesuatu yang membuatku khawatir? Entah
kekhawatiran apakah itu?
*
Halaman
depan rumah tua itu dipenuhi dengan pohon-pohon besar, terkesan menyeramkan.
Beberapa tanaman di halaman itu sudah layu dan tidak terurus. Rumah bergaya
khas Belanda itu, mengingatkanku pada bangunan prasejarah di museum, tapi
bedanya bangunan ini sungguh tidak terawat oleh pemiliknya.
Kuadukan
gerendel tembaga dengan pintu jati rumah itu sehingga menyebabkan suara yang
khas. Tak kudengar jawaban dari rumah itu, aku semakin penasaran, kuadukan
kembali gerendel tembaga itu dengan pintu. Tetapi masih tak ada jawaban. Rasa
penasaranku makin memuncak, akhirnya kubuka pintu rumah itu dan masuk ke
dalamnya.
Rumah
tua ini, seperti yang sudah kukatakan tak terurus oleh pemiliknya. Keadaan di
dalam rumah sangat berantakan, banyak baju yang berserakan di ruang tamu.
Beberapa botol minuman juga tersebar di ruang tamu itu, di pojok ruang tamu
terdapat juga botol-botol sambal memenuhi ruangan. Ruang tamu itu hanya
diterangi oleh satu buah lampu yang cahayanya buram. Aku melangkah ke tempat
dimana jendela rumah tua itu menghadap ke halaman belakang rumahku. Sepanjang
jalan, aku merasakan debu-debu di kaki menempel dan bau yang menyengat menusuk
hidungku.
Kini
aku berdiri di ruangan yang berhadapan langsung dengan halaman belakangku. Aku
mencoba mengetuk pintu, tetapi tak ada jawaban. Kutempelkan telingaku pada
pintu itu, sepertinya ada suara yang terhimpit di dalamnya. Aku langsung mendobrak pintu itu berkali-kali
dan akhirnya pintu ruangan itu terbuka.
“Marco!”
teriakku melihat anak muridku sudah tak sadarkan diri. Ia dililit tali tambang
dengan muka babak belur seperti habis dipukuli orang. Mulutnya dibekap dengan
menggunakan baju seragamnya. Di tangan kirinya ia menggenggam pita hitam dan
kertas putih, semenetara di tangan kanannya tergenggam crayon warna-warni.
Disebelahnya terdapat beberapa botol kosong bekas sambal.
Ternyata
selama ini, Marco yang melemparkan botol-botol sambal ke rumahku. Sepertinya
ada tindak kekerasan yang dilakukan ayah Marco terhadapnya. lalu dengan sigap
aku membuka tali tambang yang mengikat tangannya, dan membawanya keluar dari
rumah tua itu. Aku langsung mencari pertolongan agar membawa Marco ke rumah sakit
terdekat dan menelepon polisi agar masalah ini dapat segera terselesaikan.
*
Pemakaman
tampak ramai oleh beberapa pengunjung, tentunya hari ini satu jasad akan
dikuburkan. Rasa sedih dan menyesal bercampur jadi satu menyelimuti diriku.
Kini anak yang kubanggakan telah pergi ke pangkuan-Nya. Marco tewas setelah ia
dilarikan ke rumah sakit pagi itu. tubuhnya yang kecil itu berada di pelukanku
saat ia menghembuskan nafas terakhirnya. Aku sempat menanyakan siapa yang telah
melakukan kekerasan ini terhadapnya, ia menjawab Ayahnya lah yang menjadi
dalang di balik semua kekerasan ini.
Aku
memanjatkan doaku, saat jasad Marco semakin dekat dengan kuburnya. Aku berharap
suatu saat nanti, tak ada lagi kejadian-kejadian kekerasan yang menimpa
anak-anak di Indonesia. Dampak dari segala kesibukan orang tua yang lebih
mengutamakan pekerjaan dibandingkan anak-anaknya dan kurangnya kasih sayang dan
perhatian yang diberikan oleh orang tua. Karena sesungguhnya anak-anak adalah
bibit penerus bangsa yang akan menentukan kemajuan bangsa. Dan anak-anak inilah
yang akan meneruskan cita-cita orang tuanya di kemudian hari.
Pemakaman
semakin sepi, aku meninggalkan pusara Marco dan berjalan menuju rumahku. Aku
menengok ke arah taman belakang rumah dan menemukan satu botol utuh yang
berisikan surat dengan pita hitam. Kertas itu bertuliskan “Terima kasih, Ibu
Meggy” lalu ketengokan kepalaku pada jendela itu. Marco sedang disana dan
melambaikan tangannya kepadaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar