Sabtu, 25 Juli 2015

MISTERI PECAHAN KACA DI HALAMAN BELAKANG


PRANG…

Suara pecah dari belakang rumah membangunkanku dari tidur yang lelap. Ada apa ini? tanyaku dalam hati. Aku bergegas bangun dan berlari ke belakang rumahku. Kulihat beberapa pecahan botol berserakan di mana-mana. Astaga! Kurang kerjaan sekali orang yang melempari rumahku dengan botol ini. Baru sehari aku tinggal di sini, sudah kudapatkan hadiah selamat datang dari penghuni rumah tua yang berada di belakang rumahku. Kejutan yang indah sekali!

Setelah kejadian yang mengagetkan ini, aku bergegas membersihkan halaman belakang rumahku dari pecahan kaca itu. Tiba-tiba mataku tertuju pada kertas putih yang tergulung dengan pita hitam berada di tengah-tengah pecahan botol itu. Tetapi tidak ada tulisan apapun yang terpampang pada kertas tersebut. Ini sungguh aneh! Batinku dalam hati sambil memperhatikan jendela belakang rumah tua yang ada di hadapanku.
*
“Selamat pagi anak-anak”  sambut Kepala Sekolah. “Selamat pagi ibu Kepala Sekolah” sahut anak-anak dengan ceria. “Sudah siap belajar anak-anak?” tanya Ibu Kepala Sekolah kepada murid-muridnya.“Sudah, Ibu” sambut anak-anak.“Pagi ini, Ibu Kepala Sekolah mau memperkenalkan guru baru. Namanya Ibu Meggy. ”katanya sambil mengarahkan tangannya ke arahku.

 “Selamat pagi, anak-anak” kataku sambil tersenyum. “Selamat pagi juga, bu Meggy” sahut anak-anak. “Nah, sekarang kalian boleh mulai belajar dengan bu Meggy. Silahkan bu Meggy” kata Kepala Sekolah mempersilahkanku. “Terima kasih, bu” ucapku. Kepala sekolah mengangguk pelan dan meninggalkanku dengan anak-anak.

Ya, aku memulai karier di tempat baruku sebagai seorang guru Taman Kanak-kanak. Kebetulan sekolah Taman kanak-kanak ini berada dekat dari rumah baruku, aku bisa menjangkaunya dengan berjalan kaki saja. Keinginanku sejak kecil memang menjadi seorang guru. Sungguh, aku amat bersyukur karena akhirnya aku dapat menggapai impianku menjadi sesuatu yang ku inginkan.
Hari ini aku membawakan satu buah buku cerita yang aku buat ketika aku masih berada di bangku kuliah. Kuliah di jurusan pendidikan guru PAUD, membuatku harus terbiasa membuat media pembelajaran yang berguna untuk anak-anak seperti halnya dengan membuat buku cerita ini. Selain itu, aku juga dituntut untuk dapat membacakan cerita kepada anak dengan hati yang ceria seperti yang aku lakukan saat ini di depan anak-anak muridku.

Aku memperhatikan masing-masing anak muridku yang baru kukenal satu jam ini. Mereka tertawa dan sangat antusias memperhatikanku saat membacakan cerita. Beberapa dari anak-anak bahkan ku ajak untuk berperan dalam ceritaku tersebut. Tetapi, ada satu anak yang duduk di belakang hanya tertunduk dan memperlihatkan mimik muka yang sangat sedih. Aku menarik tangannya dan mengajakanya untuk berperan dalam ceritaku tersebut. Tak kusangka, ia antusias dalam cerita itu meskipun ia masih terlihat malu-malu. Adegan demi adegan ia lakukan bersamaku, aku membuatnya untuk tetap santai dan menghayati setiap adegan cerita. Setelah cerita berakhir, aku menghampiri anak lelaki berambut ikal itu.

“Wah hebat sekali anak ibu yang satu ini, namanya siapa, Nak?” tanyaku padanya. “Marco” jawab anak lelaki berambut ikal itu. “Oh, Marco. Marco hebat sekali! Besok-besok kalau ada pertunjukan drama, Marco harus ikut jadi pemain ya?” pujiku sambil mengusap rambutnya yang ikal.
Tak kusangka, mimik muka Marco menjadi ceria. Tak kulihat lagi kesedihan dalam raut mukanya. Lagi-lagi aku mengucap syukur, karena hari ini dapat membuat anak-anak tersenyum dan tertawa. Rasa sedih yang ada dalam diri seorang anak dapat aku kendalikan dengan kasih sayang. Sungguh, aku sangat mencintai pekerjaanku sebagai guru.
*
PRAAAAANG…..

Suara pecahan itu membangunkan aku untuk yang kedua kalinya. aku langsung berlari menuju belakang rumah dan lagi-lagi kulihat beberapa botol kaca pecah dan mengotori halaman belakang rumahku. Ditambah lagi pecahan botol itu menciptakan bau yang menyengat. Segera saja kubersihkan pecahan-pecahan kaca itu dengan sapu lidi. Aku benar-benar heran dengan kelakuan penghuni rumah tua itu, apa beginikah caranya menyambut orang baru? Apa tak ada cara lain yang lebih sopan dibanding membuang sampah ke halaman rumah tetangganya? Gerutuku dalam hati.

Saat menyapu beberapa pecahan itu, kembali kutemukan secarik kertas putih yang diikat dengan tali hitam, kertas itu bertuliskan emotion berbentuk muka sedih dengan tinta merah. Beberapa bulu kudukku meremang, aku merasakan kejanggalan pada surat misterius ini. Secara reflek kutengokan wajahku  ke arah jendela belakang rumah tua. Tiba-tiba ada sesosok bayangan besar dan hitam tengah berdiri menghadap jendela rumah tua. Bayangan itu tengah melambaikan tangan kepadaku, kurasakan nafas ini seperti tertahan, aku menggigit bibir dan mencoba beristighfar berkali-kali tetapi bayangan itu tetap melambaikan tangan.
*
“Ibu Meggy lagi sakit ya?” tanya salah satu anak muridku.

Aku tersenyum dan menggelengkan kepala, “Ibu tidak apa-apa kok, sayang”.

Kejadian tadi pagi benar-benar membuatku tidak fokus. Bahkan sejak kejadian tadi, pusing kepalaku tidak juga hilang. Bayangan itu memang berdiri dan melambaikan tangan kepadaku cukup lama seperti memintaku masuk ke dalam rumah tua itu. Menurut beberapa tetangga, rumah tua itu dihuni oleh seorang pemilik perusahaan sambal terbesar di kota. Ia hanya tinggal bersama seorang putranya. Kata mereka, kedua penghuni rumah itu jarang bersosialisasi dengan warga sekitar. Dan apakah terror yang kudapatkan ini ada hubungannya dengan penghuni rumah tua itu?
*
Hari ini aku mengajarkan melukis dengan daun. Daun-daun tersebut diambil dari pelataran halaman sekolah yang anak-anak kumpulkan, lalu daun tersebut di lukis dengan cat air. Setelah itu, daun yang telah mereka lukis, mereka jiplakkan pada kertas putih sehingga menciptakan goresan-goresan daun dengan berbagai macam warna di kertas putih.

Melihat keceriaan dan kegembiraan yang tergambar di wajah mereka saat melukis membuat sakit kepalaku hilang. Padahal saat awal pembelajaran, rasanya aku ingin pulang dan istirahat saja, tapi keceriaan mereka membuatku bersemangat kembali untuk tetap mengajar pada hari ini.

KRIIIIING……………..

Bel sekolah berbunyi nyaring, tanda pembelajaran sudah berakhir. Aku mengaba-abakan anak-anak untuk mengumpulkan tugas mereka hari ini. sebagian dari mereka dengan sigap memberikan tugasnya kepadaku, tetapi sebagian yang lainnya masih sibuk melanjutkan sambil mengeluhkan pekerjaannya yang belum selesai. Aku tersenyum, dan memberikan pengertian kepada anak-anakku yang masih semangat mengerjakan tugas mereka hingga akhir.
*
Siang menjelang sore, aku menutup pintu kelas dan melenggang menuju gerbang sekolah sambil menenteng berkas-berkas. Tiba-tiba di halaman sekolah, kuperhatikan seorang anak lelaki masih bermain di sana. Aku memicingkan mata, memperhatikan rambut ikal dan seragam yang ia kenakan. Marco. Aku menghampirinya,

“Marco, kok belum pulang nak?” kataku sambil mengelus kepalanya.

Ia hanya menengok dan menggelengkan kepalanya, tangannya masih sibuk memainkan ember berisi pasir. Kuperhatikan sekeliling halaman sekolah, semua sudah sepi. Tak ada guru-guru yang berlalulalang menjaga dan menunggui Marco sampai orang tua yang datang menjemputnya. Akhirnya kuputuskan menungguinya sampai orang tuanya datang menjemput.

Aku memperhatikan Marco yang masih memainkan ember di atas kotak pasir. Tangan kecil itu mengaduk-aduk pasir di ember. Tapi ada sesuatu yang mengganjal pada tangan Marco, kulihat ada bekas luka bakar pada tangannya dan di beberapa titik yang membiru di lengannya.

“Marco, kenapa tangannya? Lagi sakit ya?” tanyaku dengan lembut.
Ia memperhatikan lengannya dan menggelengkan kepala. Tiba-tiba raut mukanya menjadi sedih, ia berdiri dan berlari meninggalkan aku sendirian.
*
PRAAAAANG…. PRAAAAANG… PRAAAAANG…

Ini ketiga kalinya aku terbangun karena suara pecahan di halaman belakangku. Suara pecahan itu semakin banyak terjadi. Tetapi kali ini, semenjak kejadian mengerikan kemarin rasanya aku takut sekali untuk pergi mengecek halaman rumahku. Kugenggam sapu rumahku untuk berjaga-jaga. Dengan perlahan, aku melangkah menuju halaman belakangku.

Kuintip halaman belakang rumahku dari balik jendela. Banyak pecahan botol sambal dimana-mana. Jendela rumah tua pun terbuka lebar, tapi tak ada sesosok bayangan yang aku lihat lagi disana. Ketika kurasa aman, aku segera berlari membuka pintu halaman belakang rumah. Kacau balau sudah semua tanaman yang aku tanam di sana, semua sudah hancur karena pecahan-pecahan kaca dari jendela rumah tua itu. aku mendengus kesal. Dan lagi-lagi kutemukan surat berpita hitam,  kertas itu bertuliskan “HELP ME! SOS!”.

Semakin aku bingung dengan penghuni rumah tua itu. ada apa di balik semua pecahan kaca dan semua surat yang ia tuliskan? Bergegas aku berlari ke luar rumah dan berjalan menuju rumah tua itu. Ada sesuatu yang membuatku khawatir? Entah kekhawatiran apakah itu?
*
Halaman depan rumah tua itu dipenuhi dengan pohon-pohon besar, terkesan menyeramkan. Beberapa tanaman di halaman itu sudah layu dan tidak terurus. Rumah bergaya khas Belanda itu, mengingatkanku pada bangunan prasejarah di museum, tapi bedanya bangunan ini sungguh tidak terawat oleh pemiliknya.

Kuadukan gerendel tembaga dengan pintu jati rumah itu sehingga menyebabkan suara yang khas. Tak kudengar jawaban dari rumah itu, aku semakin penasaran, kuadukan kembali gerendel tembaga itu dengan pintu. Tetapi masih tak ada jawaban. Rasa penasaranku makin memuncak, akhirnya kubuka pintu rumah itu dan masuk ke dalamnya.

Rumah tua ini, seperti yang sudah kukatakan tak terurus oleh pemiliknya. Keadaan di dalam rumah sangat berantakan, banyak baju yang berserakan di ruang tamu. Beberapa botol minuman juga tersebar di ruang tamu itu, di pojok ruang tamu terdapat juga botol-botol sambal memenuhi ruangan. Ruang tamu itu hanya diterangi oleh satu buah lampu yang cahayanya buram. Aku melangkah ke tempat dimana jendela rumah tua itu menghadap ke halaman belakang rumahku. Sepanjang jalan, aku merasakan debu-debu di kaki menempel dan bau yang menyengat menusuk hidungku.

Kini aku berdiri di ruangan yang berhadapan langsung dengan halaman belakangku. Aku mencoba mengetuk pintu, tetapi tak ada jawaban. Kutempelkan telingaku pada pintu itu, sepertinya ada suara yang terhimpit di dalamnya.  Aku langsung mendobrak pintu itu berkali-kali dan akhirnya pintu ruangan itu terbuka.

“Marco!” teriakku melihat anak muridku sudah tak sadarkan diri. Ia dililit tali tambang dengan muka babak belur seperti habis dipukuli orang. Mulutnya dibekap dengan menggunakan baju seragamnya. Di tangan kirinya ia menggenggam pita hitam dan kertas putih, semenetara di tangan kanannya tergenggam crayon warna-warni. Disebelahnya terdapat beberapa botol kosong bekas sambal.

Ternyata selama ini, Marco yang melemparkan botol-botol sambal ke rumahku. Sepertinya ada tindak kekerasan yang dilakukan ayah Marco terhadapnya. lalu dengan sigap aku membuka tali tambang yang mengikat tangannya, dan membawanya keluar dari rumah tua itu. Aku langsung mencari pertolongan agar membawa Marco ke rumah sakit terdekat dan menelepon polisi agar masalah ini dapat segera terselesaikan.
*
Pemakaman tampak ramai oleh beberapa pengunjung, tentunya hari ini satu jasad akan dikuburkan. Rasa sedih dan menyesal bercampur jadi satu menyelimuti diriku. Kini anak yang kubanggakan telah pergi ke pangkuan-Nya. Marco tewas setelah ia dilarikan ke rumah sakit pagi itu. tubuhnya yang kecil itu berada di pelukanku saat ia menghembuskan nafas terakhirnya. Aku sempat menanyakan siapa yang telah melakukan kekerasan ini terhadapnya, ia menjawab Ayahnya lah yang menjadi dalang di balik semua kekerasan ini.

Aku memanjatkan doaku, saat jasad Marco semakin dekat dengan kuburnya. Aku berharap suatu saat nanti, tak ada lagi kejadian-kejadian kekerasan yang menimpa anak-anak di Indonesia. Dampak dari segala kesibukan orang tua yang lebih mengutamakan pekerjaan dibandingkan anak-anaknya dan kurangnya kasih sayang dan perhatian yang diberikan oleh orang tua. Karena sesungguhnya anak-anak adalah bibit penerus bangsa yang akan menentukan kemajuan bangsa. Dan anak-anak inilah yang akan meneruskan cita-cita orang tuanya di kemudian hari.

Pemakaman semakin sepi, aku meninggalkan pusara Marco dan berjalan menuju rumahku. Aku menengok ke arah taman belakang rumah dan menemukan satu botol utuh yang berisikan surat dengan pita hitam. Kertas itu bertuliskan “Terima kasih, Ibu Meggy” lalu ketengokan kepalaku pada jendela itu. Marco sedang disana dan melambaikan tangannya kepadaku.





Selasa, 05 Agustus 2014

Cerita Cinta 2 Manusia

Aku tergopoh-gopoh memasukan kunci motor ke dalam kantung bajuku, hingga aku menyadari aku sudah terlambat lebih dari 30 menit. Di tempat parkiran café kecil itu, aku membetulkan letak jepit rambutku yang tak lagi rapi di tempatnya sembari  memandang layar handphone yang terus berkedap kedip memunculkan sebuah nama tak asing. Lelaki itu, lelaki yang ingin kutemui sore ini. Lelaki yang ingin kucurahkan semua kesakitanku. Lalu dengan berlari kecil, aku memasuki café tersebut.

Aku celingak celinguk mencari lelaki itu. Terlalu banyak manusia yang ada di dalam, membuatku semakin kesulitan mencarinya. Tiba-tiba, sebuah tangan menarikku perlahan, mengajakku untuk menjauh dari keramaian.

Lelaki itu. Lelaki dengan potongan rambut ikal dan acak-acakan, sorot matanya yang tajam menatapku dari balik kacamata berframe hitamnya. Bibirnya yang penuh dengan kumis tipis di atasnya membuat ketampanannya semakin bertambah. Sore itu, ia memakai kemeja biru jeans dengan celana jeans hitam. Jam Reebok hitam melingkar manis di lengan kirinya dan sepatu kets biru lusuh miliknya selalu setia menemani langkahnya. Tapi sungguh, walaupun setelan ini selalu kulihat saat ia berpergian. Ia tak pernah jelek di mataku, selalu kelihatan istimewa dan juga… tampan.
                                             *

Kini ia duduk di sebelahku sambil menyeruput minuman favoritnya, ia menatapku yang masih terengah-engah.

“Capek banget yah? Siapa suruh telat. Aku sudah menunggumu dari tadi”

“Jalanan macet, aku nggak bisa ngebut. Lagian kan aku udah bilang, jalannya jam setengah 4 aja”

“Tetap saja kamu telat” katanya sambil menggerutu.

Aku hanya tersenyum menahan tawa. Aku memang sengaja menyuruhnya datang lebih awal, biasanya justru dia yang sering membuatku menunggu. Lagipula tak seharusnya perempuan menunggu lebih awal bukan? Ujarku dalam hati.

Lelaki itu kini melambaikan tangan pada pelayan untuk memesan menu. Padahal baru saja aku yang ingin melakukannya. Mungkin dia peka dan mengerti keadaanku yang begitu kehausan.

“Satu Strawberry Milk Tea, susunya jangan banyak-banyak, terus satu Chiken Cordon Blue, tapi saos mayonaisenya dipisahin dari dagingnya”. Lelaki itu selalu tahu pesanananku selama ini. Bahkan ia sangat hapal kebiasaan-kebiasaan pesanananku.

Setelah pelayan pergi, aku menatapnya yang sekarang sedang mengeluarkan gitar akustik miliknya. Ia memetik beberapa senar dan memainkan alunan musik. Dia bukan musisi, dia juga bukan seorang pemusik,
tapi keahliannya dalam bermain gitar memang wajib diacungi jempol.

“Makasih ya, tau aja aku laper. Hafal banget sih sama pesanan aku” kataku sambil tersipu malu.

“Pesanan? Pesanan apa? Itu tadi pesanan untukku”

“Ah seriusan?” pekikku kaget.

“Hahaha, gampang banget dibodohin banget sih kamu” candanya.

Mukaku langsung bersemu merah, aku kesal sekali dengan lelaki yang ada di hadapanku ini. Memang, dia sangat baik, sangat tampan, tapi… keusilannya membuatku kewalahan. Pernah aku diusilinya saat masih di bangku sekolah, hingga air mataku mengalir deras tak berhenti. Ia mengunciku di gudang belakang dan menakutiku dengan boneka setan yang ia buat saat pelajaran seni budaya.

“Oh iya, katanya kamu mau cerita?” tanyanya padaku.

Aku hampir lupa dengan hal tersebut, padahal tujuan awalku bertemu dengannya memang satu, menceritakan kesedihanku saat ini. Aku menarik nafas panjang, lalu bercerita padanya tentang kekasihku yang tiba-tiba memutuskan hubungannya denganku. Padahal semua kelihatan baik-baik saja sebelumnya.

Lelaki itu menatapku sambil memainkan gitarnya, tatapan matanya memperhatikan pipiku yang mulai basah karena air mata. Sesekali ia memberikan tisu yang ada di hadapannya padaku, meskipun tindakannya kecil tapi itu cukup membuat hatiku sangat tenang.

Kini ia mulai berbicara, setelah aku menjelaskan semua kronologis ketidakjelasan dalam hubunganku. Selama ia berbicara, sesekali ia memetik gitarnya dan bernyanyi sepatah lagu untukku. Memang aneh, bagai pujangga kesasar pikirku. Tapi sekali lagi…. Itulah yang membuatku sangat tenang berada di dekatnya.

“Semua akan baik-baik aja kok, memang sakit pada awalnya, tapi selama kamu masih punya orang-orang yang menyayangimu. Percayalah, kamu akan selalu bahagia” ucapnya sambil mengusap pipiku dengan tisu.

Perlu kamu ketahui, kawan. Lelaki di depanku ini adalah sahabatku ketika di bangku sekolah, tetapi aku menganggapnya lebih dari seorang sahabat, lebih juga dari seorang abang, bahkan mungkin lebih dari seorang kekasih. Ya, aku menganggapnya seperti itu. Memang kelihatannya berlebihan, tapi hey… aku sangat beruntung memilikinya.

Saat aku merasa lelah karena merasa diriku sangat bodoh, dia selalu menyemangatiku dengan kata-kata andalannya. Saat aku merasa bahagia, entah karena cinta, entah karena lingkungan sekitarku, aku selalu berusaha mengabarinya. Bahkan ketika aku kesakitan karena datang masa menstruasiku pun aku selalu mengabarinya.

Itulah dia, dia tak pernah bosan mendengar celotehku, dia tak pernah merasa terganggu akan kehadiranku, tak pernah merasa risih karena ceritaku dan tak pernah bosan menghiburku dengan lelucon dan alunan-alunan musik yang terpetik dari gitarnya.
*
Malam itu, aku merasa kesepian. Musik-musik dari playlist di handphoneku tak menghalau rasa kesedihanku malam ini, berkali-kali kucoba sambungan teleponku ke lelaki itu, tetapi hanya suara operator yang menjawab panggilanku. Mungkin handphonenya dimatikan atau mungkin ia sedang sibuk.

Tiba-tiba led hijau handphoneku berkedip-kedip, warna led yang ku khususkan ketika ada panggilan masuk dari lelaki itu, dengan segera aku mengangkat panggilan darinya.

“Ada apa Na? Maaf aku baru selesai futsal sama teman-teman”

Dia memang selalu seperti itu, selalu bisa menghubungi aku walau ia sangat sibuk. Aku salut sekali terhadap perhatiannya kepadaku. Tapi sungguh disayangkan, lelaki seperhatian ini belum menemukan pasangan yang tepat.

“Maaf ya aku  ganggu. Aku kesepian……” kataku sambil merajuk.

“Ohh… yaudah. Nanti teleponnya kusambung lagi. Aku ingin pulang kerumah dulu”

Setelah itu, ia memutuskan panggilan teleponnya. Aku putuskan untuk memutar playlist lagu di handphoneku lagi. Lagu Sahabat Jadi Cintanya Zigas menjadi pilihanku saat itu. Suara khas Zian yang serak-serak basah memenuhi ruangan kamar apartemen, lagu yang menceritakan persahabatan menjadi cinta mengingatkan sekelibat kenanganku bersama lelaki itu. Lelaki yang beberapa menit lalu mengabari aku bahwa ia akan meneleponku lagi dan akan membunuh segala kesepianku malam ini.

Entah mengapa, aku merindukan lelaki sipit berkacamata dengan rambut ikal yang acak-acakan itu. Ada sekelumit rasa penasaranku terhadapnya, seperti ada rasa berandai-andai memimpikan bersama dengan seorang yang dicintai. Aku memang menyukainya, tanpa aku sadari perasaan itu hanya terpendam dalam hatiku. Dia tak pernah mengungkapkan perasaan apapun terhadapku, ia hanya menganggap aku sebagai temannya semata.
*
Led berwarna hijau dari handphone berkedip-kedip membuyarkan lamunanku memikirkan lelaki itu. Ini timing yang sangat tepat, ujarku. Tanpa sadar, sedari tadi aku memperhatikan foto kami berdua yang aku ambil saat di café tempo lalu. Di foto itu, kami berdua berpose dengan gaya-gaya aneh. Aku memperhatikan pose-pose lelaki itu, dia terlihat sangat bahagia. Senyum lebarnya membuat jantungku berdebar, sorotan matanya mampu menghipnotis mata hingga berdesir kembali suasana hatiku. Aku terlalu terhanyut memperhatikan wajahnya, sampai lupa led hijauku berkedip-kedip kembali.

“Halo….”

“Halo… tumben banget ngangkat teleponnya lama. Udah tidur ya?”

“Gak kok, Far. Tadi lagi ngelamun”

“Ngelamunin siapa? Mantan lagi?” tanyanya.

“Eng..enggak. Sok tau ih” kataku menyangkal.

“Masih aja mikirin mantan. Udahlah Na, kamu pantas bahagia sekarang. Kamu gaboleh sedih lagi, biarin aja dia bahagia tanpa kamu. nanti dia juga bakal kena karmanya” nasihat lelaki itu.

“Ih, dibilang gak mikirin mantan kok, Far. Lagian juga udah lewat masanya mikirin dia, masa mau mikirin orang yang udah nyakitin hati. Ogah bener!” gerutuku.

“Hahaha… lantas kenapa kamu bilang kamu kesepian?”

“Mmmmm… kesepian aja. Maklum baru jomblo lagi”  

“Jomblo gak jomblo juga tetep aja kesepian” candanya.

“Ihh.. Farhan. Terserah deh ya terserah…” kataku ngambek.

“Aku bercanda Na, gitu aja ngambek hahaha”

“Hmm.. jelek ih bercandanya”

Kami berdua terdiam sesaat, sambungan telepon itupun masih tersambung tetapi Farhan tak berbicara.

“Far…” panggilku.

Tak ada jawaban.

“Far, farhan tidur?” panggilku lagi.

Tiba-tiba terdengar suara alunan musik A Thousand Years dari Christina Perri mengalun dari gitar sang pujangga kesasar. Aku tersipu malu mendengarnya, lalu ikut bernyanyi mengikuti alunan musik yang di mainkan Farhan dengan gitar akustiknya. Kejadian ini memang sering Farhan lakukan untukku, bahkan tak hanya sekali. Ia melakukan itu berkali-kali ketika aku sedang sedih.

Sudah 2 jam lamanya aku bertelepon dengan sang pujangga kesasar ini. Kesepianku meluap dan kesedihan yang melandaku juga menghilang begitu saja saat Farhan memberikanku lelucon-lelucon garing miliknya. Sekali-kali ia memainkan gitarnya dengan asal-asalan. Mendengar suaranya yang makin lama makin lelah, aku langsung memutuskan untuk menyudahi pembicaraan. Aku yakin dia sudah mengantuk, tetapi ia paksakan tetap menemaniku. Akhirnya, kami menyudahi pembicaraan kami setelah kami sepakat untuk pergi ke toko buku bersama besok siang.
*
Aku menyusuri jalanan toko buku dengan langkah riang. Senyumku mengembang sejak pagi karena menyadari bahwa siang ini aku akan bertemu lagi dengan Farhan. Sepanjang pagi, aku menatap wallpaper handphone yang terpampang fotoku bersamanya. Bahkan sepagi ini aku bolak-balik membuka lemari pakaian, mencari baju terbaik demi terlihat cantik dihadapannya.

Debaran jantung kian memburu ketika langkah kaki ini semakin  dekat dengan toko buku yang ada di ujung jalan besar kota D. Belum pernah aku merasakan getaran-getaran ini selama aku jalan berdua dengannya, kekosongan hatiku bahkan terisi begitu saja saat aku mengingat berbagai kelakuan yang ia tunjukan kepadaku. Aku percaya ini namanya cinta.

“Aku udah sampai di toko buku. Aku di lantai 2 ya” aku mengetik personal chat ke Farhan memberitahukan keberadaanku yang sudah sampai lebih dulu.

Mataku tak henti-hentinya memperhatikan buku-buku Ujian Mandiri yang terpampang di hadapanku. Buku-buku soal itu banyak menorehkan janji lulus ujian dan menuliskan nama-nama universitas terbaik di negeri ini.

Aku semakin terpacu untuk memperbaiki diri dari kesalahan yang kubuat kemarin. Kegagalanku dalam jalur undangan lalu memang mengecewakan kedua orang tuaku. Memang sudah waktunya aku tak bisa main-main lagi, aku harus sesegera mungkin mempersiapkan diriku ke jenjang yang lebih tinggi lagi.

Seketika aku mengingat ucapan Farhan kepadaku saat kami mengetahui kalau kami gagal. Ia menghapus tangisku, mengelus kepalaku lembut dan membenamkan kepalaku di pelukannya.

“Kita emang gagal di jalur ini, Na. Kita harus syukuri keadaan ini. Tuhan masih kasih kita banyak jalan, kita harus terus usaha. Tetap harus sungguh-sungguh ngejalanin semua yang udah digarisin sama Tuhan. Kita pasti bisa kok! Ayo semangat”

Senyumku kembali menyungging mengingat pelukan hangat darinya, pelukan yang tak kusadari telah lama terjadi. Aku baru menyadari, banyak kejadian yang romantis di antara aku dengan Farhan. Tapi aku terlalu sibuk memikirkan perasaanku pada laki-laki yang tak pernah menyentuhku selembut Farhan. Tiba-tiba hatiku bertanya, apakah Farhan menyukaiku?
*
Sesosok wanita dengan rambut panjang menaiki eskalator bersama dengan laki-laki berambut ikal berjalan ke arahku. Sosok lelaki dengan kacamata hitam itu tesenyum kepada lawan bicaranya. Keduanya saling tertawa, saling melempar senyum dan rasanya mereka begitu terlihat bahagia. Tatapan mata lelaki itupun berbeda dengan biasanya. Hatiku bagai ditikam pisau, tenggorokanku tercekat memandang pemandangan di depanku saat ini.

“Eh itu dia orangnya, hei” lelaki itu melambaikan tangannya padaku.

Aku hanya tersenyum getir, sesekali mengerjap-ngerjapkan mataku menahan Kristal-kristal yang akan terjatuh dari kedua mataku.

“Kenalin Na ini temanku, namanya Grace. Grace ini Catherina, sahabatku”

Mendengar ucapan Farhan, aku makin tercekat. Sahabat? Hanya sahabat katanya. Oh Tuhan, rasanya aku ingin memberhentikan waktu saja. Wanita bernama Grace itu mengulurkan tangannya sambil tersenyum, aku membalas uluran tangannya dengan setengah hati. Aku kembali menatap Farhan, matanya kelihatan bersinar menatap Grace.

“Han, gue langsung ke atas aja ya. Makasih udah mau nganterin gue, senang ketemu sama lo”

“Iya, Grace. Hati-hati ya. Senang ketemu lo juga”

“Gue duluan ya, Catherina” kata Grace sambil melambaikan tangan.

Aku mengangguk tersenyum sambil membalas lambaian tangan Grace. Lalu  Grace melenggang pergi meninggalkan kami berdua. Aku berdiri terpaku, perasaan sakit akibat perkataan Farhan barusan membuatku ingin cepat-cepat pulang. Tak ada lagi aura debaran yang sejak pagi kutunggu, hanya kecewa yang ku dapati.

“Na, kamu udah cari bukunya?” tanya Farhan.

“Belum” jawabku singkat.

“Maaf ya aku telat, kamu nungggu lama?”

“Nggak kok”

“Yaudah yuk cari bukunya”

Aku tak menjawab, hanya mengangguk pelan.  Aku menyusuri lorong-lorong toko buku dengannya. Sepertinya Farhan tak menyadari perubahan wajahku setelah itu, tapi toh aku tak peduli. Aku yakin dia tak mengetahui kesakitan hatiku.

Begitu di depan buku yang kami cari, Farhan membuka salah satu buku berwarna merah kekuningan bertuliskan “Sukses Ujian Masuk Universitas”. Ia membuka dan membolak-balik isi buku tersebut, sementara aku dengan perasaan sedih hanya membolak balik buku di sebelahnya. Sepanjang pencarian buku itu, Farhan sibuk menanyakanku tentang buku seperti apa yang aku sukai untuk belajar tapi kujawab pertanyaannya dengan sangat singkat.

“Kamu kenapa Na?” tanyanya pelan. Sepertinya ia menyadari semua pembicaraan berakhir tak seru akibat
ulahku.

“Aku gak apa-apa Far”

“Kamu keliatan bete, kamu marah sama aku?” tanyanya sambil menatap wajahku.

“Gak, Farhan. Aku gak bete dan gak marah” jawabku tanpa membalas tatapan matanya.

Tiba-tiba sosok lelaki itu mengangkat mukaku dengan tangan kanannya, sehingga wajahku dengan wajahnya begitu dekat. Aku menahan nafas, jantungku berdebar-debar lagi. Ya Tuhan kenapa dia terlihat sangat tampan sih? Bibirku terkunci seketika, mukaku bersemu merah. Aku tak mampu berkata-kata lagi.

“Kamu bohong?”

“Mmmmm…… ngg… nggak Far. Aku….. gak bete. Mmm…” kataku sambil melepaskan tangannya dari kepalaku.

“Ohh, bilang dong. Aku kan khawatir kalau kamu malah bete gitu.”

Aku gak bete, Cuma kesel aja ngeliat kamu berduaan sama cewek lain, timpalku dalam hati. Apa selama ini aku benar-benar hanya dianggap sebagai sahabatnya saja? Ah, aku juga yang bodoh terlalu mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin terjadi, kataku.

Buku yang kami inginkan sudah berada di genggaman masing-masing, aku memilih buku berukuran sedang sementara Farhan memilih buku tebal bertuliskan “Aku Bisa Masuk PTN”. Aku heran, biasanya laki-laki kerap memilih buku tipis dan tak banyak tulisan. Tapi lelaki di sampingku memang berbeda, ketekunan dan kerajinannya buatku malu sendiri. Dia memang lebih niat belajar dibanding diriku. Keinginnanya menjadi seorang teknisi mesin memaksanya untuk lebih bisa giat belajar untuk menempuh cita-citanya.

Kami berjalan keluar dari toko buku, sampai akhirnya aku mulai penasaran pada Grace. Sosok wanita yang bersama Farhan siang tadi. Jangan-jangan dia pacar Farhan yang baru? Atau teman dekatnya yang akan menjadi pesaingku. Rasa penasaranku kian membara, akhirnya kucoba tanyakan pada Farhan yang sedang asyik membaca buku barunya.

“Far…”

“Iya, Na?”

“Mmmm… boleh nanya sesuatu?”

“Yaa, boleh. Ada apa?” tanyanya sambil mengalihkan pandangan ke arahku.

“Mmmm… perempuan yang sama kamu tadi siang tadi itu temen baru kamu?”

“Ohh… Grace? Temen futsal aku ngenalin aku sama dia. Kebetulan dia mau masuk universitas yang sama denganku Cuma beda jurusannya. Anaknya asyik juga lho diajak ngobrol” ceritanya padaku sambil tersenyum lebar.

Kretek… suara hatiku makin tergores keras. Inilah salah satu kebodohan yang aku buat, sudah tau hatiku mudah sekali rapuh malah masih nekat bertanya tentang suatu kejelasan yang justru akan membuat hati ketar-ketir sendiri. Bodoh sekali, umpatku dalam hati.

“Na, kok kamu diem?” sepertinya perubahan mimik mukaku terlihat jelas di mata Farhan.

“Gak kok, haha. Senang ya punya temen baru”

Sekali lagi, kejutan keromantisan Farhan terjadi lagi untukku. Badanku diputar olehnya, dia menatap mataku lama, lalu menggenggam tanganku.

“Aku gak bakal ninggalin kamu kok, Na. Meskipun dia temen baruku, aku gak bakalan lupain kamu… sebagai sahabatku” katanya sambil tersenyum.

Kretek…kretek… dan suara hatiku makin tergores. Aku mengalihkan pandanganku dari matanya, berusaha mengerjap-ngerjapkan mata, menahan air mata yang sudah mengambang. Farhan yang menyadari hal itu, langsung mengeluarkan tisu dari tas hitamnya dan menghapus air mata yang telah terlanjur mengalir jatuh dari pelupuk mataku.
*
Beberapa hari setelah pertemuanku dengan Farhan di toko buku, aku mulai menyibukan diri mempersiapkan ujian mandiri yang sebentar lagi terbentang di depan mata. Farhan pun juga begitu. Meskipun hal itu terjadi, kami masih sering mengabari lewat ponsel masing-masing. Tetapi setelah pertemuan itu, Farhan sudah jarang memulai pembicaraan lebih awal. Kekhawatiran menghantui diriku, jangan-jangan ia dan Grace makin dekat lalu mereka menjadi sepasang kekasih tanpa aku mengetahuinya?

Kekhawatiranku semakin memuncak, sesaat Farhan tak mengabariku sepanjang minggu ini. Aku menyalakan handphoneku, lalu menatap wallpaper handphone yang terpampang poseku dengan Farhan. Hatiku semakin tak terkendali, perasaan itu berdesir kembali, aku semakin tak tahan dengan kerinduan yang terpendam ini. Kontak di handphone bertuliskan namanya seakan memanggil-manggilku untuk segera menghubunginya. Tapi kini aku belum mampu memberanikan diriku untuk menghubunginya kembali. Akhirnya aku hanya merasakan air mataku meleleh lagi.
*
Mataku lelah menatap buku-buku berserakan di atas tempat tidur, semalaman suntuk aku berusaha belajar lebih keras dari sebelum-sebelumnya. Karena mataku sudah tak kuat melihat pemandangan buku yang menggunung itu, aku mencoba membereskannya satu persatu. Tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah boneka teddy bear coklat tersenyum manis di hadapanku. Ya, itu boneka beruang yang Farhan berikan untukku saat ulang tahun ke 17. Boneka itu sangat menggemaskan, berhari-hari ia menemaniku melampiaskan kerinduanku terhadap Farhan.

Hari ini, tepat satu bulan Farhan tak mengabariku. Setiap malam setelah belajar, aku mengecek last seen chatnya. Dari last seennya tersebut, ia kelihatan tidak sibuk. Ia masih sering online dan mengganti-ganti status personal chatnya. Keadaan itu membuat batinku teriris. Kemana pujangga kesasarku, Tuhan? Aku sangat-sangat merindunya. Bisakah kau pertemukan aku lagi dengannya, Tuhan? Umpatku sambil menahan sesak dalam dada.
*
“Na, sudah jam berapa ini? Ayo cepat sarapan, nak. Nanti kamu terlambat” teriak Mama memanggilku dari dapur.

Akhirnya hari ini, hari yang kutunggu-tunggu datang juga. Hari dimana aku harus berjuang meraih kesuksesan untuk masa depanku kelak. Ya, kamu tak salah baca kawan? Hari ini adalah hari pelaksanaan ujian mandiri.
Semalaman aku tak bisa tidur memikirkan soal macam apa yang akan aku hadapi esok hari. Ketakutan pun melanda diriku, aku takut mengecewakan orang tuaku lagi. Bayang-bayang peluh mama dan papa terus memotivasiku untuk mengejar mimpiku. Aku tak boleh menyerah, seperti kata Farhan. Berkali-kali sepanjang malam itu, aku membaca personal chat lamaku dengan Farhan. Kurindukan semangat dari pujangga kesasar ini, begitu juga dengan suara bassnya yang setia memotivasiku ketika semangatku terpatahkan.

Aku menghela nafas panjang, aku tak boleh memikirkan lelaki itu lebih lama. Kini aku harus terus fokus mengejar mimpiku. Doa yang tak putus-putus kulontarkan sepanjang malam itu. Nama Papa dan Mama selalu kusertai dalam tiap ibadahku, bahkan dalam doaku kali ini aku berharap penuh agar aku tak mengecewakan mereka lagi. Lalu dalam doaku malam itu, aku berkata lagi pada Tuhan, agar segera mempertemukanku dengan lelaki berambut ikal berantakan itu. Lelaki yang membuatku mati kutu karena kelembutan hati serta perhatiannya. Lelaki yang sering usil, membuat lelucon garing dan menyanyikanku beberapa buah lagu ketika aku sedang sedih. Farhan.

Mama menatapku yang sedari tadi membiarkan roti panggang di depanku menjadi dingin. Ia melambai-lambaikan tangannya di depan mukaku. Sontak aku kaget, lalu melirik ke arah Mama.

“Kenapa Ma?” tanyaku.

“Kamu melamunnya lama banget sih, makan dulu dong makanannya sayang” ucapnya lembut.

Tanpa menjawab ucapannya, aku melahap roti panggangku dan meminum susu di hadapanku.

“Na, si ikal kok tumben udah gak pernah main kerumah?” tanya Mama padaku. Aku hampir tersedak mengdengar ucapan Mama, untung saja susu coklatku tak tersembur di mukanya. Ikal adalah panggilan Mama untuk Farhan. 

“Ikal sibuk kayanya, Ma. Aku juga belum dapat kabar dari dia kemarin-kemarin” jelasku pada Mama.

“Oalah, kamu berantem emangnya?”

“Nggak kok, Ma. Dianya sibuk belajar buat ujian deh kayanya”

“Ohh… yaudah cepat habiskan sarapanmu, sepertinya Papa sudah menunggu di ruang tengah”

Aku mengangguk. Farhan memang sudah dekat dengan keluargaku, Mama bahkan punya panggilan
kesayangan untuknya. Mama dan Papa juga sudah menganggapnya seperti anak sendiri, mungkin mereka sangat mendambakan seorang anak laki-laki. Tapi Mama sudah tak sanggup, pengangkatan rahim setelah kelahiranku membuatnya harus pupus untuk mempunyai seorang anak lagi. Maka dari itu, Farhan seperti sudah menjadi bagian dari keluarga kami.

“Maa, aku berangkat” kataku sambil mencium tangan Mama.

“Sukses ya sayang, kerjakan dengan baik dan hati-hati. Dan apapun hasilnya nanti, semoga Tuhan meridhoi setiap perjalananmu” nasihat Mama sambil memelukku erat.

Pelukan hangat itu kusambut dengan senyum terharu, Papa yang ada di sebelahku pun ikut merangkulku erat. Aku janji Pa, Ma! Aku akan membuatmu bangga. Kataku dalam hati.
*
Seminggu berlalu begitu cepat, Ujian Mandiri sudah kulewati. Aku hanya dapat berharap semoga besok saat pengumuman ujian mandiri, aku dapat merasakan kegembiraan tiada tara. Semoga saja…

Aku membenamkan kepalaku di atas kasur. Mataku menatap layar handphone yang kini selalu sepi tanpa kedap-kedip led hijau. Ya, sampai saat ini Farhan masih belum mengabariku. Seluruh SMSku tak dijawabnya, bahkan telepon dariku juga tak diangkatnya. Hati ini semakin merindukan bayang-bayangnya, teringat suaranya, teringat tatapan matanya. Akhirnya aku tak kuat lagi, air mataku jatuh tertumpah merindukan dirinya.
*
Jam di kamar berdenting 12 kali, suara jam itu membangunkanku dari tidur. Mataku terasa amat berat karena kebanyakan menangis.  Aku bergegas menuju kamar mandi, membersihkan mataku dari bekas air mata. Ku lihat tampangku di cermin, mataku membengkak seperti habis di pukuli habis-habisan. Rambutku acak-acakan. Tampangku begitu menakutkan, aku sendiri sampai kaget melihat wajahku di cermin itu. Aku mencoba mengingat apa yang sudah kulakukan sedari tadi, tanpa sadar air mataku menetes kembali. Pujangga kesasarku, kamu sedang apa? Aku merindumu.

Keluar dari kamar mandi, aku menuju komputerku yang ada di atas meja belajar. Aku menyalakannya dengan penuh harap. Tepat di tengah malam ini, pengumuman ujian mandiri akan dibuka. Aku berdoa dalam hati penuh harap. Sembari menunggu program di komputerku menyala, aku melihat handphoneku. Banyak sekali SMS dan chat yang masuk ke dalam handphoneku. Ucapan Happy Birthday disertai harapan-harapan terlontar dari kawan-kawanku melalui chat dan SMS. 

Tapi dari sekian banyak SMS dan chat tersebut, tak ada chat dari lelaki itu. Aku menghela nafas, mungkin saja dia benar-benar melupakanku.

Setelah program komputerku menyala, aku membuka browser dan mengetik link pengumuman ujian mandiri.

Aplikasi pengumuman ujian pun terbuka, sambil memperbanyak doa kutuliskan nama dan nomer pesertaku di aplikasi tersebut.
PENGUMUMAN KELULUSAN UJIAN MANDIRI 2014
NO. PESERTA : 5461883289902
NAMA : CATHERINA PUTRI ANDRIANA
TANGGAL LAHIR : 19 JULI 1996
Selamat, anda dinyatakan lulus seleksi UJIAN MANDIRI 2014.
Anda diterima pada Program Studi berikut.
315472 – SASTRA INDONESIA, UNIVERSITAS INDONESIA

Hatiku melonjak kegirangan mendapat hasil yang memuaskan dari jerih payahku. Aku bersujud syukur sambil mengucapkan syukur kepada Tuhan tiada henti. Ingin ku ceritakan semua kebahagiaan ini, biasanya Farhan mengetahui lebih awal kejutan ini. Akhirnya dengan tangis bahagia, aku menuliskan satu pesan untuknya.

“Hai kamuuu, bagaimana kabarmu sekarang? Aku seneng banget, lho! Akhirnya aku keterima di Sastra Indonesia, UI. Gimana kabar pengumuman Ujian Mandirimu? Semoga Tuhan juga meridhoi pilihanmu ya, Far:’). Aamiin”

SMS itu kukirimkan pada Farhan, tiba-tiba butiran Kristal dari mataku menetes lagi. Aku bahagia, sangat bahagia dibilang. Tetapi, aku hampa, begitu kehilangan sosok yang membuatku selalu merasa tenang. Lelaki dengan gitar austiknya. Pujangga kesasarku.
*
“Surprice!!!!! AYO BANGUN……” ucap seseorang membangunkanku. Suara bassnya yang khas dan wangi parfumnya membuatku terbangun. Sekarang di tempat tidurku, ada lelaki yang selama ini membuatku menangis tak karuan karena merindunya. Senyumnya begitu mengembang, tatapan matanya yang teduh itu menatapku sekarang. Tangannya memegang kue ulang tahun  dengan tulisan 18 tahun di atasnya.
Tanpa sadar, aku memeluknya dengan penuh arti. Kubenamkan kepalaku pada pundaknya yang besar. Kerinduan yang sejak kemarin aku tangisi kini berubah menjadi sebuah kebahagiaan. Farhan membalas pelukanku, lalu mengelus kepalaku lembut.

“Kamu…. kemana.. ajaa hiks?” kataku sambil terisak.

Farhan tak menggubris pertanyaanku, ia hanya memelukku makin erat. Kurasakan kehangatan pelukannya, mencium wangi khas tubuhnya. Dalam pelukannya aku bahagia, kegelisahan selama sebulan ini rasanya hilang sudah. Matahari pagi masuk ke sela-sela jendela kamarku seakan menyambut kedatangan Farhan. Kiacuan burung dari balik jendela kamar menambah suasana pagi itu semakin riuh.

“Udah ah nangisnya, lilin di kuenya ntar jadi meleleh lho!” kata Farhan.

Aku melepaskan pelukku dari tubuhnya. Kue ulang tahun berwarna hijau muda bertuliskan “Happy Birthday Catherina” di hadapanku ini begitu menggemaskan karena ada lukisan wajahku di atas kuenya.

“Ayo sekarang kamu make a wish” kata Farhan tersenyum padaku.

Kutatap lilin bertuliskan angka 18 itu, aku memohon agar semua yang akan kuhadapi di masa yang lebih dewasa ini bisa kujalani dengan penuh suka cita bersama orang-orang yang kusayangi. Tak lupa kuucapkan syukur atas segala kenikmatan yang telah aku terima selama 18 tahun ini.

Farhan melirik ke arahku, ia mengelus kepalaku lagi. Aku memejamkan mataku dan memohon kembali. Kumohon Tuhan, semoga kau dapat menjaga dan melindunginya. Aku sangat mencintainya, Tuhan. Ku harap ia dapat merasakan rasa cintanya kepadaku. Aamiin. Kutiup lilin ulang tahunku sambil tersenyum bahagia.
*
Pagi ini menjadi pagi terspesial sepanjang perjalanan hidupku, aku dikelilingi orang-orang yang menyayangiku di hari kelahiranku ini. Mama, Papa dan juga Farhan. Sepanjang pagi ini, aku bercerita dengan Farhan tentang keseharianku selama sebulan itu. tanpa bosan ia mendengarkan curhatku itu. Sesekali ia tertawa mendengarkan ceritaku. 

"Oh iya, gimana hasil ujian mandirimu?" tanyaku. 
"Mmmmm.. aku.. aku keterima di Universitas Brawijaya Na. univeritas yang aku mau itu lho di Malang!" jawabnya sambil tersenyum. 

Aku tersenyum menatap wajah bahagia Farhan. ia berhasil mendapatkan sesuatu yang ia inginkan saat ini. Tunggu dulu, apa yang ia bilang? Di Malang? Apa aku tak salah mendengar? Tiba-tiba senyumku berubah menjadi kecut.

“Malang? Jawa Timur?” tanyaku

“Iya, Jawa Timur Na.”

“jadi, kamu akan tinggal di sana?”

“Iya, sepertinya begitu…”

Perkataan Farhan barusan mengikis hatiku lagi. Aku tak sanggup menatap wajah bahagianya. Kusembunyikan sedihku ini dengan tersenyum getir.

“Selamat ya Far, aku ikut senang”

“Ini juga berkat semangat yang kamu kasih untukku tiap malam, Na. Meskipun kamu kira aku gak bales chatku karena sibuk. Tapi di sela-sela kesibukanku ini, aku selalu membaca chat dan SMS yang kamu kasih buatku. Makasih ya” katanya menggenggam tanganku.

“Tapi…. Kenapa harus di Malang Far?” kataku memberanikan diri.

Farhan terdiam sesaat, ia memperhatikan air mukaku yang tiba-tiba berubah. Kemudian ia menghela nafas panjang, lalu mengelus rambutku seperti yang ia lakukan saat memberikan kejutan. Tatapan mata Farhan membelengguku sesaat, bola matanya kelihatan bersinar saat bertatapan dengan mataku.

“Na, aku tau ini berat. Maafin aku harus ninggalin kamu. tapi kita kan masih bisa chat, SMS atau teleponan tiap malam” katanya menghiburku.

Aku makin tak bisa menahan kesedihanku, air mataku terjatuh di genggaman tangan kami. Sekali lagi, Farhan memelukku, ia membenamkan kepalaku di dadanya. Sungguh, aku bisa mendengar debaran jantung yang luar biasa darinya. Tuhan, kenapa di saat-saat bahagia seperti ini, Kau harus pisahkan aku dengannya? Aku belum sanggup, Tuhan. Kuatkan aku. Umpatku dengan tangis.
*
Suara deru kereta semakin jelas dengan pendengaran, suara-suara sirine palang kereta beradu dengan ramainya jalanan ibukota. Aku menyadari, aku telah sampai di stasiun kereta api bersama sopir keluarga Farhan. Aku melirik ke arah sang pujangga kesasar itu, ia menenteng gitar akustik miliknya dengan susah payah, kubantu dirinya menurunkan tas lain dari bagasi mobilnya. Setalah semuua barang diturunkan, kemudian kami semua masuk ke dalam stasiun kereta api.

“Kereta kamu sampai di stasiun jam berapa?” tanyaku.

“Sebentar lagi, Na. kira-kira jam 3an lah”

“Ohh…”

Sedari pagi, moodku memang sudah tidak teratur. Kepergian Farhan ke Malang pada hari ini menjadi penyebabnya. Semalaman suntuk aku memutar lagu Maudy Ayunda – Cinta yang tak mungkin jadi, sambil memperhatikan foto kami berdua. Batinku masih belum kuat menerima ia harus pergi ke Malang, ia sudah terlalu menyentuh hatiku. Padahal baru saja ia datang memberikanku kejutan indah pada hari ulang tahunku seminggu lalu.

“Na…” panggilnya.

“Kenapa?” kataku memandangnya.

Ia mengeluarkan gitar akustiknya, lalu memainkan nada-nada yang kukenal. Lagu Pasto – Aku Pasti Kembali mengalun dari gitar lelaki berambut ikal itu.

“Aku akan pergi tuk sementara bukan tuk meninggalkanmu selamanya. Aku pasti kan kembali, pada dirimu. Tapi kau jangan nakal.. aku pasti kembali”

Mendengar suara indah dari bibirnya, aku tak mampu berkata-kata. Bibirku seolah terkunci rapat oleh seribu bahasa. Debaran jantung ini kian memburu hatiku. Apa ini saatnya aku harus mengungkapkan segala perasaan yang telah terjadi selama bertahun-tahun lamanya? Ku hela nafas panjang, lalu dengan berani ku gamit tangan lelaki di hadapanku itu.

“Far?”

“Ya?”

“Aku mau ngomong sesuatu…”

Farhan membalikan tubuhnya menghadapku “Apa?”

“Aku…sayang sama kamu, Far” ucapku lirih.

”Selama 3 tahun ini, aku menyadari kalau perasaan ini bukan Cuma karena persahabatan semata. Tapi lebih dari itu aku memang pernah jatuh cinta sama orang lain. Tapi itu karena aku merasa gabisa milikin hati kamu, Far. 1 bulan kemarin, setiap malam aku selalu merindukan kamu. aku takut kamu berubah, Far. Bahkan saat kamu kenal Grace. Aku… aku… benar-benar cemburu saat itu. tapi aku sadar, aku bukan siapa-siapa kamu. Sekarang, aku Cuma bisa pasrah karena harus kehilangan kamu” ucapku panjang lebar.

Farhan masih terdiam melihat aku yang mengungkapkan perasaan di hadapannya. Bunyi kereta dari peron 3 memecah keheningan stasiun kota. Kereta menuju Kota Malang berhenti di depan kami berdua. Aku tercekat, secepat inikah aku harus kehilangannya? Aku memandang wajah Farhan yang masih terdiam mematung di kursi tunggu. Kemudian, ia berdiri merapikan gitar ke dalam tasnya dan mengangkut tas-tas kecil miliknya.

Sebelum memasuki kereta, ia menatap wajahku lama, tangannya mengelus wajahku dengan lembut. Jemarinya ia selipkan diantara jari-jariku, ia mendekatkan wajahnya. Akhirnya, kecupan hangat mendarat dikeningku.

“Aku pasti akan pulang, aku janji. Sekarang belum saatnya kita bersama, Na… aku yakin suatu saat nanti kita pasti akan bersama. Tapi  entah waktunya kapan. Jaga dirimu baik-baik, Na. aku juga sayang sama kamu” katanya menggenggam erat tanganku.

Farhan melepaskan genggamannya, lalu membuka tas hitamnya. Ia mengeluarkan sebuah bingkisan kecil terbungkus rapih dengan kertas kado berwarna hijau.

“Jaga barang ini, suatu saat aku pasti akan menggantinya dengan yang lebih indah” katanya tersenyum manis.

“Aku pergi dulu, Na” pamitnya padaku.

Aku membalas lambaian tangannya, mataku tak sanggup lagi untuk menahan segala tangis karena kepergiannya. Aku menyerah, mungkin benar. Saat ini aku harus mengejar mimpiku. Sebelum aku bertemu lagi dengannya. Lalu dengan pasrah, kutatap kereta menuju Malang berjalan mulus di atas rel.
*
Dear malaikat tanpa sayapku, Catherina Putri Andriani
Selamat ulang tahun ya, semoga panjang umur dan sehat selalu. Semoga Tuhan selalu meridhoi setiap perjalananmu di umur 18 tahun ini. Ciekan, sekarang jadi mahasiswa jaket kuning. Selamat ya atas lolosnya kamu di ujian mandiri tahun ini:’)
Na, aku harap kamu tak kecewa akibat kepergianku ke Malang. Aku tahu pasti rasanya berat. Akupun begitu. Aku begitu berat harus kehilangan canda dan tawamu.
Ini kadoku untuk kamu, jaga baik-baik cincin ini ya. Mungkin 6 atau 7 tahun lagi aku dapat menggangtinya dengan yang lebih indah.
Dari aku yang selalu mencintaimu,



Farhan Rizky Rahman