Sabtu, 25 Juli 2015

MISTERI PECAHAN KACA DI HALAMAN BELAKANG


PRANG…

Suara pecah dari belakang rumah membangunkanku dari tidur yang lelap. Ada apa ini? tanyaku dalam hati. Aku bergegas bangun dan berlari ke belakang rumahku. Kulihat beberapa pecahan botol berserakan di mana-mana. Astaga! Kurang kerjaan sekali orang yang melempari rumahku dengan botol ini. Baru sehari aku tinggal di sini, sudah kudapatkan hadiah selamat datang dari penghuni rumah tua yang berada di belakang rumahku. Kejutan yang indah sekali!

Setelah kejadian yang mengagetkan ini, aku bergegas membersihkan halaman belakang rumahku dari pecahan kaca itu. Tiba-tiba mataku tertuju pada kertas putih yang tergulung dengan pita hitam berada di tengah-tengah pecahan botol itu. Tetapi tidak ada tulisan apapun yang terpampang pada kertas tersebut. Ini sungguh aneh! Batinku dalam hati sambil memperhatikan jendela belakang rumah tua yang ada di hadapanku.
*
“Selamat pagi anak-anak”  sambut Kepala Sekolah. “Selamat pagi ibu Kepala Sekolah” sahut anak-anak dengan ceria. “Sudah siap belajar anak-anak?” tanya Ibu Kepala Sekolah kepada murid-muridnya.“Sudah, Ibu” sambut anak-anak.“Pagi ini, Ibu Kepala Sekolah mau memperkenalkan guru baru. Namanya Ibu Meggy. ”katanya sambil mengarahkan tangannya ke arahku.

 “Selamat pagi, anak-anak” kataku sambil tersenyum. “Selamat pagi juga, bu Meggy” sahut anak-anak. “Nah, sekarang kalian boleh mulai belajar dengan bu Meggy. Silahkan bu Meggy” kata Kepala Sekolah mempersilahkanku. “Terima kasih, bu” ucapku. Kepala sekolah mengangguk pelan dan meninggalkanku dengan anak-anak.

Ya, aku memulai karier di tempat baruku sebagai seorang guru Taman Kanak-kanak. Kebetulan sekolah Taman kanak-kanak ini berada dekat dari rumah baruku, aku bisa menjangkaunya dengan berjalan kaki saja. Keinginanku sejak kecil memang menjadi seorang guru. Sungguh, aku amat bersyukur karena akhirnya aku dapat menggapai impianku menjadi sesuatu yang ku inginkan.
Hari ini aku membawakan satu buah buku cerita yang aku buat ketika aku masih berada di bangku kuliah. Kuliah di jurusan pendidikan guru PAUD, membuatku harus terbiasa membuat media pembelajaran yang berguna untuk anak-anak seperti halnya dengan membuat buku cerita ini. Selain itu, aku juga dituntut untuk dapat membacakan cerita kepada anak dengan hati yang ceria seperti yang aku lakukan saat ini di depan anak-anak muridku.

Aku memperhatikan masing-masing anak muridku yang baru kukenal satu jam ini. Mereka tertawa dan sangat antusias memperhatikanku saat membacakan cerita. Beberapa dari anak-anak bahkan ku ajak untuk berperan dalam ceritaku tersebut. Tetapi, ada satu anak yang duduk di belakang hanya tertunduk dan memperlihatkan mimik muka yang sangat sedih. Aku menarik tangannya dan mengajakanya untuk berperan dalam ceritaku tersebut. Tak kusangka, ia antusias dalam cerita itu meskipun ia masih terlihat malu-malu. Adegan demi adegan ia lakukan bersamaku, aku membuatnya untuk tetap santai dan menghayati setiap adegan cerita. Setelah cerita berakhir, aku menghampiri anak lelaki berambut ikal itu.

“Wah hebat sekali anak ibu yang satu ini, namanya siapa, Nak?” tanyaku padanya. “Marco” jawab anak lelaki berambut ikal itu. “Oh, Marco. Marco hebat sekali! Besok-besok kalau ada pertunjukan drama, Marco harus ikut jadi pemain ya?” pujiku sambil mengusap rambutnya yang ikal.
Tak kusangka, mimik muka Marco menjadi ceria. Tak kulihat lagi kesedihan dalam raut mukanya. Lagi-lagi aku mengucap syukur, karena hari ini dapat membuat anak-anak tersenyum dan tertawa. Rasa sedih yang ada dalam diri seorang anak dapat aku kendalikan dengan kasih sayang. Sungguh, aku sangat mencintai pekerjaanku sebagai guru.
*
PRAAAAANG…..

Suara pecahan itu membangunkan aku untuk yang kedua kalinya. aku langsung berlari menuju belakang rumah dan lagi-lagi kulihat beberapa botol kaca pecah dan mengotori halaman belakang rumahku. Ditambah lagi pecahan botol itu menciptakan bau yang menyengat. Segera saja kubersihkan pecahan-pecahan kaca itu dengan sapu lidi. Aku benar-benar heran dengan kelakuan penghuni rumah tua itu, apa beginikah caranya menyambut orang baru? Apa tak ada cara lain yang lebih sopan dibanding membuang sampah ke halaman rumah tetangganya? Gerutuku dalam hati.

Saat menyapu beberapa pecahan itu, kembali kutemukan secarik kertas putih yang diikat dengan tali hitam, kertas itu bertuliskan emotion berbentuk muka sedih dengan tinta merah. Beberapa bulu kudukku meremang, aku merasakan kejanggalan pada surat misterius ini. Secara reflek kutengokan wajahku  ke arah jendela belakang rumah tua. Tiba-tiba ada sesosok bayangan besar dan hitam tengah berdiri menghadap jendela rumah tua. Bayangan itu tengah melambaikan tangan kepadaku, kurasakan nafas ini seperti tertahan, aku menggigit bibir dan mencoba beristighfar berkali-kali tetapi bayangan itu tetap melambaikan tangan.
*
“Ibu Meggy lagi sakit ya?” tanya salah satu anak muridku.

Aku tersenyum dan menggelengkan kepala, “Ibu tidak apa-apa kok, sayang”.

Kejadian tadi pagi benar-benar membuatku tidak fokus. Bahkan sejak kejadian tadi, pusing kepalaku tidak juga hilang. Bayangan itu memang berdiri dan melambaikan tangan kepadaku cukup lama seperti memintaku masuk ke dalam rumah tua itu. Menurut beberapa tetangga, rumah tua itu dihuni oleh seorang pemilik perusahaan sambal terbesar di kota. Ia hanya tinggal bersama seorang putranya. Kata mereka, kedua penghuni rumah itu jarang bersosialisasi dengan warga sekitar. Dan apakah terror yang kudapatkan ini ada hubungannya dengan penghuni rumah tua itu?
*
Hari ini aku mengajarkan melukis dengan daun. Daun-daun tersebut diambil dari pelataran halaman sekolah yang anak-anak kumpulkan, lalu daun tersebut di lukis dengan cat air. Setelah itu, daun yang telah mereka lukis, mereka jiplakkan pada kertas putih sehingga menciptakan goresan-goresan daun dengan berbagai macam warna di kertas putih.

Melihat keceriaan dan kegembiraan yang tergambar di wajah mereka saat melukis membuat sakit kepalaku hilang. Padahal saat awal pembelajaran, rasanya aku ingin pulang dan istirahat saja, tapi keceriaan mereka membuatku bersemangat kembali untuk tetap mengajar pada hari ini.

KRIIIIING……………..

Bel sekolah berbunyi nyaring, tanda pembelajaran sudah berakhir. Aku mengaba-abakan anak-anak untuk mengumpulkan tugas mereka hari ini. sebagian dari mereka dengan sigap memberikan tugasnya kepadaku, tetapi sebagian yang lainnya masih sibuk melanjutkan sambil mengeluhkan pekerjaannya yang belum selesai. Aku tersenyum, dan memberikan pengertian kepada anak-anakku yang masih semangat mengerjakan tugas mereka hingga akhir.
*
Siang menjelang sore, aku menutup pintu kelas dan melenggang menuju gerbang sekolah sambil menenteng berkas-berkas. Tiba-tiba di halaman sekolah, kuperhatikan seorang anak lelaki masih bermain di sana. Aku memicingkan mata, memperhatikan rambut ikal dan seragam yang ia kenakan. Marco. Aku menghampirinya,

“Marco, kok belum pulang nak?” kataku sambil mengelus kepalanya.

Ia hanya menengok dan menggelengkan kepalanya, tangannya masih sibuk memainkan ember berisi pasir. Kuperhatikan sekeliling halaman sekolah, semua sudah sepi. Tak ada guru-guru yang berlalulalang menjaga dan menunggui Marco sampai orang tua yang datang menjemputnya. Akhirnya kuputuskan menungguinya sampai orang tuanya datang menjemput.

Aku memperhatikan Marco yang masih memainkan ember di atas kotak pasir. Tangan kecil itu mengaduk-aduk pasir di ember. Tapi ada sesuatu yang mengganjal pada tangan Marco, kulihat ada bekas luka bakar pada tangannya dan di beberapa titik yang membiru di lengannya.

“Marco, kenapa tangannya? Lagi sakit ya?” tanyaku dengan lembut.
Ia memperhatikan lengannya dan menggelengkan kepala. Tiba-tiba raut mukanya menjadi sedih, ia berdiri dan berlari meninggalkan aku sendirian.
*
PRAAAAANG…. PRAAAAANG… PRAAAAANG…

Ini ketiga kalinya aku terbangun karena suara pecahan di halaman belakangku. Suara pecahan itu semakin banyak terjadi. Tetapi kali ini, semenjak kejadian mengerikan kemarin rasanya aku takut sekali untuk pergi mengecek halaman rumahku. Kugenggam sapu rumahku untuk berjaga-jaga. Dengan perlahan, aku melangkah menuju halaman belakangku.

Kuintip halaman belakang rumahku dari balik jendela. Banyak pecahan botol sambal dimana-mana. Jendela rumah tua pun terbuka lebar, tapi tak ada sesosok bayangan yang aku lihat lagi disana. Ketika kurasa aman, aku segera berlari membuka pintu halaman belakang rumah. Kacau balau sudah semua tanaman yang aku tanam di sana, semua sudah hancur karena pecahan-pecahan kaca dari jendela rumah tua itu. aku mendengus kesal. Dan lagi-lagi kutemukan surat berpita hitam,  kertas itu bertuliskan “HELP ME! SOS!”.

Semakin aku bingung dengan penghuni rumah tua itu. ada apa di balik semua pecahan kaca dan semua surat yang ia tuliskan? Bergegas aku berlari ke luar rumah dan berjalan menuju rumah tua itu. Ada sesuatu yang membuatku khawatir? Entah kekhawatiran apakah itu?
*
Halaman depan rumah tua itu dipenuhi dengan pohon-pohon besar, terkesan menyeramkan. Beberapa tanaman di halaman itu sudah layu dan tidak terurus. Rumah bergaya khas Belanda itu, mengingatkanku pada bangunan prasejarah di museum, tapi bedanya bangunan ini sungguh tidak terawat oleh pemiliknya.

Kuadukan gerendel tembaga dengan pintu jati rumah itu sehingga menyebabkan suara yang khas. Tak kudengar jawaban dari rumah itu, aku semakin penasaran, kuadukan kembali gerendel tembaga itu dengan pintu. Tetapi masih tak ada jawaban. Rasa penasaranku makin memuncak, akhirnya kubuka pintu rumah itu dan masuk ke dalamnya.

Rumah tua ini, seperti yang sudah kukatakan tak terurus oleh pemiliknya. Keadaan di dalam rumah sangat berantakan, banyak baju yang berserakan di ruang tamu. Beberapa botol minuman juga tersebar di ruang tamu itu, di pojok ruang tamu terdapat juga botol-botol sambal memenuhi ruangan. Ruang tamu itu hanya diterangi oleh satu buah lampu yang cahayanya buram. Aku melangkah ke tempat dimana jendela rumah tua itu menghadap ke halaman belakang rumahku. Sepanjang jalan, aku merasakan debu-debu di kaki menempel dan bau yang menyengat menusuk hidungku.

Kini aku berdiri di ruangan yang berhadapan langsung dengan halaman belakangku. Aku mencoba mengetuk pintu, tetapi tak ada jawaban. Kutempelkan telingaku pada pintu itu, sepertinya ada suara yang terhimpit di dalamnya.  Aku langsung mendobrak pintu itu berkali-kali dan akhirnya pintu ruangan itu terbuka.

“Marco!” teriakku melihat anak muridku sudah tak sadarkan diri. Ia dililit tali tambang dengan muka babak belur seperti habis dipukuli orang. Mulutnya dibekap dengan menggunakan baju seragamnya. Di tangan kirinya ia menggenggam pita hitam dan kertas putih, semenetara di tangan kanannya tergenggam crayon warna-warni. Disebelahnya terdapat beberapa botol kosong bekas sambal.

Ternyata selama ini, Marco yang melemparkan botol-botol sambal ke rumahku. Sepertinya ada tindak kekerasan yang dilakukan ayah Marco terhadapnya. lalu dengan sigap aku membuka tali tambang yang mengikat tangannya, dan membawanya keluar dari rumah tua itu. Aku langsung mencari pertolongan agar membawa Marco ke rumah sakit terdekat dan menelepon polisi agar masalah ini dapat segera terselesaikan.
*
Pemakaman tampak ramai oleh beberapa pengunjung, tentunya hari ini satu jasad akan dikuburkan. Rasa sedih dan menyesal bercampur jadi satu menyelimuti diriku. Kini anak yang kubanggakan telah pergi ke pangkuan-Nya. Marco tewas setelah ia dilarikan ke rumah sakit pagi itu. tubuhnya yang kecil itu berada di pelukanku saat ia menghembuskan nafas terakhirnya. Aku sempat menanyakan siapa yang telah melakukan kekerasan ini terhadapnya, ia menjawab Ayahnya lah yang menjadi dalang di balik semua kekerasan ini.

Aku memanjatkan doaku, saat jasad Marco semakin dekat dengan kuburnya. Aku berharap suatu saat nanti, tak ada lagi kejadian-kejadian kekerasan yang menimpa anak-anak di Indonesia. Dampak dari segala kesibukan orang tua yang lebih mengutamakan pekerjaan dibandingkan anak-anaknya dan kurangnya kasih sayang dan perhatian yang diberikan oleh orang tua. Karena sesungguhnya anak-anak adalah bibit penerus bangsa yang akan menentukan kemajuan bangsa. Dan anak-anak inilah yang akan meneruskan cita-cita orang tuanya di kemudian hari.

Pemakaman semakin sepi, aku meninggalkan pusara Marco dan berjalan menuju rumahku. Aku menengok ke arah taman belakang rumah dan menemukan satu botol utuh yang berisikan surat dengan pita hitam. Kertas itu bertuliskan “Terima kasih, Ibu Meggy” lalu ketengokan kepalaku pada jendela itu. Marco sedang disana dan melambaikan tangannya kepadaku.